Jumat, 20 November 2009

Manfaat dan Kekuatan Dongeng pada Psikologi Anak

Pada zaman serba canggih seperti sekarang, kegiatan mendongeng di mata anak-anak tidak populer lagi. Sejak bangun hingga menjelang tidur, mereka dihadapkan pada televisi yang menyajikan beragam acara, mulai dari film kartun, kuis, hingga sinetron yang acapkali bukan tontonan yang pas untuk anak. Kalaupun mereka bosan dengan acara yang disajikan, mereka dapat pindah pada permainan lain seperti videogame.

KENDATI demikian, kegiatan mendongeng sebetulnya bisa memikat dan mendatangkan banyak manfaat, bukan hanya untuk anak-anak tetapi juga orang tua yang mendongeng untuk anaknya. Kegiatan ini dapat mempererat ikatan dan komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak. Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng ini.

Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasinya. Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak hanya menonton dari televisi. Anak dapat membentuk visualisasinya sendiri dari cerita yang didengarkan. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Lama-kelamaan anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini.

Kedua, cerita atau dongeng merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk menumbuhkan rasa empati. Misalnya nilai-nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan sehari-hari seprti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi. Anak juga diharapkan dapat lebih mudah menyerap berbagai nilai tersebut karena Kak Agam di sini tidak bersikap memerintah atau menggurui, sebaliknya para tokoh cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh atau teladan bagi anak.

Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik pada berbagai dongeng yang diceritakan Kak Agam, anak diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti buku pengetahuan, sains, agama, dan sebagainya.

Tidak ada batasan usia yang ketat mengenai kapan sebaiknya anak dapat mulai diberi dongeng oleh Kak agam. Untuk anak-anak usia prasekolah, dongeng dapat membantu mengembangkan kosa kata. Hanya saja cerita yang dipilihkan tentu saja yang sederhana dan kerap ditemui anak sehari-hari. Misalnya dongeng-dongeng tentang binatang. Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar dapat dipilihkan cerita yang mengandung teladan, nilai dan pesan moral serta problem solving. Harapannya nilai dan pesan tersebut kemudian dapat diterapkan anak dalam kehidupan sehari-hari.

Keberhasilan suatu dongeng tidak saja ditentukan oleh daya rangsang imajinatifnya, tapi juga kesadaran dan kemampuan pendongeng untuk menyajikannya secara menarik. Untuk itu Kak Agam dapat menggunakan berbagai alat bantu seperti boneka atau berbagai buku cerita sebagai sumber yang dapat dibaca oleh orang tua sebelum mendongeng.

Manfaat Dongeng untuk anak :

1. Mengasah daya pikir dan imajinasi
2. Menanamkan berbagi nilai dan etika
3. Menumbuhkan minat baca

Kekuatan Dongeng pada Anak

Kak Bimo, seorang pecinta anak-anak, guru, trainer, sekaligus pendongeng yang sangat fasih dan piawai. Di kotanya Yogyakarta penulis mengenalnya tak hanya lantaran kemampuannya menyihir anak-anak dengan dramatis, namun juga karena muatan pesan moral yang dalam serta komprehensif mampu diselipkan dengan sangat apik dan tak membebani. Anak-anak demikian terbius segenap perhatian dan pikirannya pada alur cerita sederhana namun enak diikuti selama dongeng berlangsung. Kemudian kita mungkin mengenal PM Toh, pendongeng asal Aceh yang selalu mementingkan interaksi serta suasana yang aman dan nyaman bagi anak-anak yang mendengarkannya. Selain itu tak asing bagi kita yakni Kusumo Priyono, maestro dongeng Indonesia yang berpendapat bahwa dalam mendongeng biasanya ada sesuatu yang ingin disampaikan, terutama moral dan budi pekerti. Selain itu, yang tak kalah penting adalah sarat nuansa hiburan bagi anak-anak (edukatif dan kreatif) sehingga anak merasa senang dan terhibur. Demikianlah, anak-anak memang sangat senang mendengarkan cerita atau dongeng. Terutama cerita yang dibacakan oleh orang tua atau orang dewasa.

Menimbang Manfaat Dongeng

Tak bisa disangkal bahwa dongeng memang memiliki daya tarik tersendiri. Di sebagian sisi, terjadi suatu fenomena klise, bahwa anak-anak sebelum tidur kerap minta mendengar dongeng yang dikisahkan oleh ibu, nenek, atau orang dewasa yang berusaha menidurkannya. Meski bisa saja ditafsirkan bahwa dongeng tak selamanya menyenangkan, namun kenyataannya memang dongeng mudah membuat anak tertidur, disamping dongeng disetujui sebagai aktifitas rileks memang memiliki potensi konstruktif untuk mendukung pertumbuhkembangan mental anak. Bercerita atau mendongeng dalam bahasa Inggris disebut storytelling, memiliki banyak manfaat. Manfaat tersebut diantaranya adalah mampu mengembangkan daya pikir dan imajinasi anak, mengembangkan kemampuan berbicara anak, mengembangkan daya sosialisasi anak dan yang terutama adalah sarana komunikasi anak dengan orang tuanya. (Media Indonesia, 2006). Kalangan ahli psikologi menyarankan agar orangtua membiasakan mendongeng untuk mengurangi pengaruh buruk alat permainan modern. Hal itu dipentingkan mengingat interaksi langsung antara anak balita dengan orangtuanya dengan mendongeng sangat berpengaruh dalam membentuk karakter anak menjelang dewasa.

Selain itu, dari berbagai cara untuk mendidik anak, dongeng merupakan cara yang tak kalah ampuh dan efektif untuk memberikan human touch atau sentuhan manusiawi dan sportifitas bagi anak. Melalui dongeng pula jelajah cakrawala pemikiran anak akan menjadi lebih baik, lebih kritis, dan cerdas. Anak juga bisa memahami hal mana yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru. Hal ini akan membantu mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar disamping memudahkan mereka menilai dan memposisikan diri di tengah-tengah orang lain. Sebaliknya, anak yang kurang imajinasi bisa berakibat pada pergaulan yang kurang, sulit bersosialisasi atau beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Namun terlepas dari setumpuk teori manfaat tersebut, rasanya kita tetap harus berhati-hati. Karena jika kita kurang teliti, cukup banyak dongeng mengandung kisah yang justru rawan menjadi teladan buruk bagi anak-anak. Sebut saja dongeng rakyat tentang Sangkuriang yang secara eksplisit mengisahkan bahwa ibu kandung Sang-kuriang gara-gara bersumpah akan menjadi istri pihak yang mengambil peralatan tenun yang jatuh terpaksa menikah dengan seekor anjing. Tak cukup itu kondisi diperparah oleh kisah bahwa setelah membunuh sang anjing yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri Sangkuriang sempat jatuh cinta dalam makna asmara kepada Dayang Sumbi, ibu kandungnya sendiri. Belum terhitung kelicikan Dayang Sumbi membangunkan ayam jago agar berkokok sebelum saat fajar benar-benar tiba, demi mengecoh Sangkuriang agar menduga dirinya gagal memenuhi permintaan Dayang Sumbi yakni merampungkan pembuatan perahu dalam satu malam saja. Karena muatan-muatan pada cerita dongeng harus dipertimbangkan dengan kondisi psikologi yang mungkin deserap oleh sang anak, jangan sampai terjadi kesalahan pemahaman dari dongeng yang dimaksudkan positif malah menjadi negatif...

Written By : Rudi Maryati, S.Pd dan Kak Agam di http://www.dongengkakrico.com

Jumat, 17 Juli 2009

Kecerdasan Spiritual Menentukan Jati Diri

Sudah tertanam anggapan umum masyarakat, anak yang nilai matematikanya kurang bagus dikelompokkan sebagai anak bodoh. Wajar jika sebagian besar orang tua cemas bila anaknya kurang pandai matematika.

Padahal kecerdasan tidak hanya terbatas pada intelektual, dikenal juga kecerdasan emosional (emotional intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence).

Jika kecerdasan emosional memang membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup. Tapi, untuk menemukan kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.

Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling utama dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan yang lain. Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas.

Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita.

Kecerdasan spiritual berarti kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri seseorang sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti bisa memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi

Menurut Roberts A. Emmons dalam buku The Psychology of Ultimate Concerns, ada lima karakteristik orang yang cerdasa secara spiritual yaitu kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk berbuat baik.

“Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual,” ujar Emmons.

Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Dia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks Kitab Suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.

Pengamat dan pakar pendidikan, DR. H. Arief Rachman MPd mengemukakan pentingnya mengembangkan potensi anak untuk mendukung kecerdasan majemuk. Menurut Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu, orangtua hendaknya mengenali ragam potensi kecerdasan anak yaitu potensi spiritual, potensi perasaan, potensi akal, potensi sosial, potensi jasmani.

Potensi spiritual terdiri dari kemampuan menghadirkan Tuhan atau keimanan dalam setiap aktivitas, kegemaran berbuat untuk Tuhan, disiplin beribadah, sabar berupaya, dan bersyukur atas pemberian Tuhan kepada kita. Sedangkan potensi perasaan mencakup pengendalian emosi, mengerti perasaan orang lain, senang bekerjasama, menunda kepuasan sesaat dan berkepribadian stabil.

Menurut Psikolog Anak & Remaja Lentera Insan Child Development & Education Center, Hj. Fitriani F. Syahrul, Msi.Psi, perayaan hari raya Idul Fitri sebenarnya sebagai salah satu waktu yang tepat dalam mengasah kecerdasan spiritual.

Sayangnya, masih banyak orangtua yang belum mencontohkan hari raya Idul sebagai ajang untuk membersihkan jiwa sehingga kembali suci. Namun, masih sebatas ritual seperti baju baru atau pemberian angpau pada waktu silaturahmi ke rumah kerabat.

“Sebenarnya bermaaf-maafan itu sebaiknya dilakukan sebelum bulan puasa, kemudian kita menjalankan ibadah puasa sebaik-baiknya. Sehingga memudahkan kita untuk kembali suci diri pada hari Idul Fitri,” ujar ibu dari tiga anak ini.

Selain itu, mengasah kecerdasan spiritual juga dapat dilakukan dengan mengajarkan anak-anak bersyukur atas makanan yang lebih banyak di hari raya Lebaran sebagai berkah atas ketakwaan yang dilakukan selama bulan Ramadhan.

Yang sering dilupakan oleh kaum muslim di Indonesia ialah perayaan dari Hari Raya Kurban atau Idul Adha. Padahal, lanjut Fitri, Idul Adha merupakan salah satu simbol dari penaklukan hawa nafsu manusia dan pasrah kepada perintah Tuhan.

“Hari raya Idul Fitri juga sebaiknya jangan berlebih-lebihan, karena ada ibadah puasa Syawal yang harus dilakukan umat muslim,” pungkas Fitri. (Republika)

Sabtu, 20 Juni 2009

Kecerdasan Emosional

Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.

Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.

Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.

Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:

*

empati (memahami orang lain secara mendalam)
*

mengungkapkan dan memahami perasaan
*

mengendalikan amarah
*

kemandirian
*

kemampuan menyesuaikan diri
*

disukai
*

kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
*

kesetiakawanan
*

keramahan
*

sikap hormat

Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :

*

membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
*

bekerja dalam kelompok secara harmonis
*

berbicara dan mendengarkan secara efektif
*

mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif)
*

mengatasi masalah dengan teman yang nakal
*

berempati pada sesama
*

memecahkan masalah
*

mengatasi konflik
*

membangkitkan rasa humor
*

memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
*

menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
*

menjalin keakraban

Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru.

Inteligensi dan IQ

Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :

Faktor bawaan atau keturunan

Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.

Faktor lingkungan

Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.

Inteligensi dan IQ

Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.

Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.

Pengukuran Inteligensi

Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.

Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.

Inteligensi dan Bakat

Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.

Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.

Inteligensi dan Kreativitas

Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.

Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.

Mengenal Autisme

Banyak sekali definisi yang beredar tentang apa itu Autisme. Tetapi secara garis besar, Autisme, adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Pada anak-anak biasa disebut dengan Autisme Infantil.

Schizophrenia juga merupakan gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri : berbicara, tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri.

Tetapi ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari Autisme pada penderita Schizophrenia dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan pada anak-anak penyandang autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan.

Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang Ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata.

Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak, digunakan standar internasional tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autisme Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah :

Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini :

*

Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju
*

Tidak bisa bermain dengan teman sebaya
*

Tak ada empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain)
*

Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik

(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :

*

Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal
*

Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi
*

Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
*

Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru

(3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :

*

Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan
*

Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
*

Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
*

Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda

Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif.

Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak.

Namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktivitas.

Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Berdasarkan kabar terakhir, di Indonesia ada 2 penyandang autis yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup dengan normal dan berprestasi. Di Amerika, di mana penyandang autisme ditangani secara lebih serius, persentase kesembuhan lebih besar.

Bila Anda membutuhkan informasi yang lebih detail tentang autisme, silakan menghubungi alamat di bawah ini :

P2GPA
Pusat Pelayanan Gangguan Perkembangan Anak
Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata
Jl. Imam Bonjol 186 A, Semarang 50132
Telp. 024 - 554613

POPAA
Perkumpulan Orangtua Pembina Anak Autistik
Jl. Erlangga Tengah III/34, Semarang
Telp. 024 - 313083

Yayasan Autisma Indonesia
Jl. Buncit Raya No. 55, Jakarta Pusat
Telp. 021 - 7971945 - 7991355

Ibu Bekerja & Dampaknya bagi Perkembangan Anak

Salah satu dampak krisis moneter adalah bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena semakin tingginya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu caranya adalah menambah penghasilan keluarga...akhirnya kalau biasanya hanya ayah yang bekerja sekarang ibupun ikut bekerja.

Ibu yang ikut bekerja mempunyai banyak pilihan. Ada ibu yang memilih bekerja di rumah dan ada ibu yang memilih bekerja di luar rumah. Jika ibu memilih bekerja di luar rumah maka ibu harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi jika ibu mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya. Karena anak usia 0-5 tahun belum dapat melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi, belajar, dan sebagainya. Mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu maka orang tua atau khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut mampu membimbing dan membantu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya maka anak-anak yang akan menderita kerugian.

Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Anak yang berada di lingkungan orang-orang yang sering marah, memukul, dan melakukan tindakan kekerasan lainnya, anak tersebut juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang keras. Untuk itu ibu atau orang tua harus bijaksana dalam menitipkan anak sewaktu orang tua bekerja.

Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik.

Untuk itu maka ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil.

Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumahpun tetap harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana.

Tetapi tugas tersebut tentunya bukan hanya tugas ibu saja tetapi ayah juga harus ikut menolong ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga sehingga keutuhan dan keharmonisan rumah tanggapun akan tetap terjaga dengan baik.

Jumat, 15 Mei 2009

kata bijak tentang persahabatan

Persahabatan sejati layaknya kesehatan, nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya

Seorang sahabat adalah yang dapat mendengarkan lagu di dalam hatimu dan akan menyanyikan kembali tatkala kau lupa akan bait-baitnya

Seorang teman sejati akan membuat Anda hangat dengan kehadirannya, mempercayai akan rahasianya dan mengingat Anda dalam doa-doanya.

Bertemanlah dengan orang yang suka membela kebenaran. Dialah hiasan dikala kita senang dan perisai diwaktu kita susah

Namun kita tidak akan pernah memiliki seorang teman, jika kita mengharapkan seseorang tanpa kesalahan. Karena semua manusia itu baik kalau kita bisa melihat kebaikannya dan menyenangkan kalau kita bisa melihat keunikannya tapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan kalau kita tidak bisa melihat keduanya.

Tak seorang pun sempurna. Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak. Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar meskipun terbukti salah

Orang bijaksana selalu melengkapi kehidupannya dengan banyak persahabatan

Banyak orang akan datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya sahabat-sahabat sejati yang akan meninggalkan bekas di dalam hatimu.
Sahabat yang sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada anda, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata anda.

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~

Selasa, 12 Mei 2009

KURA KURA vs KANCIL

Suatu hari Kura Kura dan Kancil berdebat tentang siapa yang lebih cepat. Mereka menyetujui jalur tertentu untuk bertanding dan mulailah mereka bertanding
Sang Kancil melesat dengan cepat dan setelah merasa jauh melampaui Kura Kura dia berhenti sejenak dibawah pohon untuk beristirahat sebelum memulai lagi perlombaannya.
Sang Kancil terduduk dibawah pohon dan akhirnya tertidur.
Dan Kura Kura berhasil melampauinya dan keluar sebagai juara
Sang Kancil terbangun dan mendapatkan dirinya kalah didalam perlombaan tersebut.
Maksud dari cerita ini adalah :
mereka yang lambat, apabila konsisten, akan dapat memenangkan pertandingan

Ini adalah cerita yang biasa kita dengar sejak masa kecil

Baru baru ini seseorang bercerita versi baru yang lebih menarik.
Rupanya ceritanya bersambung ……….
Sang Kancil sangat kecewa dengan kekalahannya lalu melakukan analisis penyebabnya.
Dia sadar bahwa dia kalah karena terlampau percaya diri, kurang hati hati dan terlena
Kalau saja dia bisa lebih waspada maka tidaklah mungkin Kura Kura bisa mengalahkannya.
Lalu ditantangnya lagi Kura Kura tersebut untuk melakukan lomba ulang yang disetujui oleh Kura Kura
Dan kali ini, sang Kancil menang mutlak karena dia berlari tanpa henti
Maksud dari cerita ini adalah :
Cepat dan konsisten akan mengalahkan yang lambat dan konsisten
Kalau ada dua orang diperusahaan, yang satu lambat, pakai metoda dan handal sedangkan yang satu lagi cekatan dan handal, maka yang cepat dan handal akan maju lebih cepat
Lambat asal Konsisten itu bagus akan tetapi lebih bagus lagi kalau Cepat dan Konsisten

Tetapi ceritanya tidak hanya sampai disini.
Kali ini sang Kura Kura mulai berpikir dan sadar bahwa tidaklah mungkin berlomba dengan Kancil pada jalur seperti yang lalu
Setelah berpikir keras, kali ini Kura Kura menantang sang Kancil untuk berlomba lagi pada jalur perlombaan yang berbeda
Sang kancil setuju.
Mereka mulai berpacu dan sang Kancil berlari dengan cepat tanpa berhenti sampai akhirnya terpaksa berhenti ditepi sungai, karena harus menyeberang
Rupanya garis finish nya terletak beberapa ratus meter setelah tepi diseberang sungai .
Sang Kancil bingung tidak tahu harus berbuat apa…..
dan tak lama kemudian muncul Kura Kura menyusul dan dengan santainya menyeberang sampai kegaris finish dan memenangkan pertandingan
Maksud cerita ini adalah:
Pertama, temukan kekuatan utama anda kemudian carilah tempat bertanding yang sesuai dengan kekuatan utama anda
Di Perusahaan, kalau anda pandai berbicara, carilah kesempatan untuk memberikan presentasi sehingga pimpinan anda bisa melihat kemampuan anda
Kalau Kekuatanmu adalah menganalisis, carilah peran yang membutuhkan kemampuan analisis.
Bekerja pada Kekuatanmu bukan hanya menunjukkan kehebatanmu akan tetapi juga menciptakan kesempatan untuk maju dan berkembang
Kalau Kekuatanmu adalah mengorganisir, carilah peran untuk mengorganisir sesuatu kegiatan penting agar perusahaan tahu bahwa anda mungkin pantas menjadi manager
Kalau Kekuatanmu adalah waspada dan teliti carilah peran yang membutuhkan kewaspadaan dan ketelitian seperti peran yang terkait dengan keselamatan, hukum atau keuangan


Ceritanya belum selesai lho…

Kali ini sang Kancil dan Kura Kura menjadi bersahabat dan mulai memikirkan solusi masalah bersama sama.
Keduanya sadar bahwa lomba yang terakhir bisa dilakukan dengan jauh lebih baik
Jadi mereka memutuskan untuk melakukan perlombaan lagi , cuma kali ini mereka berlari dalam satu team
Mereka mulai berlari …… mula mula sang Kancil menggendong Kura Kura sampai ketepi sungai, kemudian disini Kura Kura yang menggendong Kancil untuk menyeberangi sungai
Diseberang satunya Kancil mulai menggendong Kura Kura lagi sampai kegaris finish.
Sampai digaris finish keduanya merasa puas karena berhasil tiba dengan waktu yang jauh lebih cepat dari lomba sebelumnya
Maksud cerita ini adalah:
Bagus menjadi orang yang brilian dan mempunyai kekuatan utama; akan tetapi tanpa bisa bekerjasama didalam suatu team dan menjalin masing masing kekuatan utama, hasilnya tidak akan maksimal karena selalu ada situasi dimana anda berkinerja kurang sedangkan rekan lainnya lebih baik.
Kerjasama adalah masalah kepemimpinan yang sesuai dengan situasi, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada seseorang yang memiliki kompetensi inti yang sesuai dengan situasi mengambil alih kepemimpinan.

Ada lagi yang dapat dipelajari disini ?
Catat bahwa baik Kancil maupun Kura Kura tidak pernah menyerah setelah mengalami kegagalan.
Bahkan Sang Kancil bekerja lebih keras setelah kegagalannya
Sedangkan Kura kura mengubah Strategi nya karena dia sudah berusaha sekuat tenaga.
Dalam hidup, kalau kita menghadapi kegagalan, terkadang bisa diatasi dengan bekerja lebih keras dan menambahkan usaha
Kadang akan lebih cocok untuk mengubah Strategi dan melakukan sesuatu yang berbeda.
Dan terkadang lebih cocok melakukan keduanya
Keduanya juga belajar sesuatu pelajaran yang sangat penting..
Kalau kita berhenti berkompetisi dengan saingan kita lalu mulai berkompetisi dengan situasi, kita akan bisa mendapatkan kinerja yang jauh lebih baik

Ringkasnya, cerita ini mengajarkan banyak hal pada kita.
Pelajaran yang penting adalah:
-Bahwa cepat dan konsisten akan selalu lebih baik daripada lambat dan konsisten
-Ambilah peran yang sesuai dengan KEKUATAN utama anda
-Kumpulkan kekuatan dan bekerja didalam team akan selalu mengalahkan jagoan individu;
-Jangan pernah menyerah kalau gagal;
-Dan akhirnya, bersainglah melawan situasi, jangan melawan pesaing.

Jumat, 08 Mei 2009

Apakah Anda Orang yang Defensive ?

Pengertian & Penggunaan

Apa itu defensif? Defensif itu, kalau melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah: bersikap bertahan, dipakai atau dimaksudkan untuk bertahan, atau dalam keadaan bertahan. Ketika digunakan dalam praktek, defensif ini sering punya dua konotasi. Yang pertama konotasinya positif. Ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mempertahankan dirinya dari serangan, hantaman, godaan, atau jebakan dari luar (orang dan keadaan). Kemampuan ini merupakan buah dari kematangan, ketangguhan, atau kedalaman

Defensif dengan konotasi yang ini dapat kita temui dalam strategi peperangan. "Defensive is more powerful than offensive." Kenapa? Menurut pengalaman para jagoan, orang yang lebih memilih strategi offensif (menyerang lebih dulu), biasanya lebih rentan didominasi nafsu untuk mengalahkan, nafsu keserakahan, atau nafsu untuk menghancurkan. Secara emosi, strategi ofensif ini jauh lebih melelahkan ketimbang strategi defensif. Ini tidak berarti mereka yang defensif itu diam ketika diserang. Mereka tetap menyerang, namun motif dan kesadaran yang membimbingnya adalah tujuan untuk mempertahankan diri.

Peperangan, penyerangan, atau pertempuran para nabi pun begitu. Kalau dilihat di sejarahnya, strategi yang dipilih adalah defensif (to defend). Mereka dikirim Tuhan untuk menyebarkan kedamaian, tetapi karena di lapangannya menghadapi serangan dari orang-orang yang tidak pro dengan nilai-nilai itu dan menyerangnya, tentu saja tidak tinggal diam. Mereka membalas serangan itu untuk mempertahankan diri dan misi sucinya.

Dalam teori pengembangan karir, defensif dengan konotasi positif ini disebutnya dengan istilah resilience. Ini adalah kemampuan seseorang dalam menyembuhkan diri atau dalam beradaptasi dengan berbagai ketidakberuntungan atau perubahan buruk. Menurut Fox (1995), ciri-ciri orang yang tangguh itu antara lain:
Mereka memilih keputusan untuk melangkah maju. Mereka menghindari keputusan untuk berhenti atau mundur (stepping forward).
Mereka punya kemampuan dalam menyerap pelajaran positif di balik kekacauan (learning from chaos)
Mereka punya kemampuan dalam menyeleksi materi yang ditekuninya (selective learner).
Mereka berpikir dalam konteks peluang, kemampuan, kemungkinan dan menjauhi pikiran-pikiran tentang keterbatasan, kekurangan, atau ketidakmampuan (opportunity and possibility approach)
Mereka punya dorongan untuk menghasilkan perbedaan yang unik (creative people).
Mereka memunculkan banyak alternatif dan opsi untuk bisa sampai pada sasaran yang dituju (explorer people)



Sedangkan arti defensife yang kedua, konotasinya negatif. Inilah yang menjadi pokok bahasan kita di sini. Defensif di sini artinya adalah prilaku atau ekspresi sikap yang muncul ketika seseorang itu mempersepsikan adanya ancaman atau untuk mengantisipasi ancaman (ketakutan). Out-put-nya adalah: suka ngeyel, suka membantah, suka membukan pintu perdebatan, suka menolak masukan dari orang lain, dan lain-lain. Perilaku atau ekspresi sikap seperti ini pada umumnya didasari oleh motif supaya kelihatan menang, supaya bisa terhindar dari penugasan atau hukuman, atau supaya kelihatan "lebih jago".

Nah, defensif dengan konotasi yang ini ada yang dipraktekkan secara nyata, misalnya saja: melalui ungkapan mulut, sikap atau tindakan. Contohnya saja ada orang dikasih tahu oleh orang yang lebih tahu tentang hal-hal yang lebih baik, tetapi orang itu terang-terangan ngeyel atau membantah. Bisa juga dalam bentuk mendebat lebih dulu sampai tegang. Ada juga yang dipraktekkan secara diam-diam / di belakang. Ini misalnya saja kita punya kebiasaan untuk menentang, ngeyel, atau tidak mau menerima masukan positif, namun itu secara sembunyi-sembunyi.

Jadi intinya, ada defensif yang pasif-submisif, dan ada yang aktif-agresif (menyerang).

Sebagai model komunikasi atau interaksi, ke-defensif-an itu melahirkan dua efek, tergantung yang kita terapkan. Pertahanan-diri yang didasarkan pengetahuan mendalam tentang diri sendiri, pengalaman hidup / kerja, dan tujuan positif, efeknya adalah personal power yang kuat. Tapi ini dengan syarat sejauh dilakukan secara proporsional. Sebaliknya, pertahanan-diri yang didasari nafsu, rasa takut, atau rasa kurang (feeling of lack and fear), biasannya efek yang muncul adalah negatif. Defensif seperti ini menghambat tercapainya interaksi yang "supportive"



Akar Defensif Yang Negatif

Apa yang menyebabkan seseorang menjadi defensif dalam konotasi yang negatif itu? Dari penjelasan yang bisa kita temukan di berbagai literatur, salah satunya adalah motivasi minus. Istilah ini dipakai Ian Marshall dan Danah Zohar di buku Spiritual Capital (2005). Motor penggerak manusia itu ada yang plus (positif) dan ada yang minus (cenderung negatif) sesuai levelnya. Ringkasnya bisa dilihat di bawah ini:
No.
Motivasi Plus
Motivasi Minus

1
Eksplorasi (+1)
Penonjolan diri (-1)

2
Kecendrungan bergaul dan bekerja sama (+2)
Kemarahan (-2)

3
Kekuatan-diri-ke dalam (+3)
Keserakahan (-3)

4
Penguasaan (+4)
Rasa takut (-4)

5
Generativitas (+5)
Keresahan(-5)

6
Pengabdian yang lebih tinggi (+6)
Apati (-6)

7
Jiwa dunia (+7)
Malu dan rasa bersalah (-7)

8
Pencerahan (+8)
Depersonalisasi (-8)


Nah, defensif terkait dengan rasa takut (-4). Orang yang motivasinya di sini kerap dihinggapi kecemasan, kecurigaan, atau perasaan terancam dan rasa rentan diserang. Takut adalah lawan dari perasaan menguasai keadaan. Orang yang dimotivasi oleh rasa takut selalu ingin membela diri atau melindungi diri. Logisnya, kalau orang merasa kurang atau merasa takut, kecenderungan yang dominan adalah membela diri.

Lawannya adalah penguasaan (+4). Ini terkait dengan keterampilan interpersonal yang lebih bagus, khususnya nilai atau keterampilan dari suatu profesi, suatu tradisi, atau suatu sistem pemahaman yang lebih luas atau suatu visi bersama. Penguasaan kita terhadap bidang, keadaan, atau nilai-nilai, akan membuat kita merasa aman (tidak terlalu takut). Kalau seseorang sudah relatif lebih aman, untuk apa lagi membela diri atau melindungi diri dengan berbagai retorika yang berefek kurang baik pada interkasi?

Penjelasan lainnya mengaitkan ini dengan personal power - sebuah kekuatan yang berakar pada penguasaan diri (self-mastering). Semakin kuat power personal seseorang, maka semakin terbebas dia dari berbagai rasa terancam oleh orang lain. Sumber keamanannya berada di dalam dirinya. Penguasaan-diri ini kemudian membuahkan sebuah sikap dan sifat yang kuat (berpedoman pada pendirian hidup) dan terbuka terhadap orang lain: bisa mendengarkan, bisa menghargai, bisa bekerja sama, bisa berdialog, dan lain-lain.

Ini beda dengan orang yang power personalnya rendah. Meminjam teorinya Freud, orang yang power personalnya rendah itu lebih dikendalikan oleh Id, seperti anak-anak. Maksudnya, prilakunya lebih banyak dikontrol oleh ego pribadi yang subyektif, pertahanan-diri yang egois, mood yang dikendalikan oleh kepentingan-subyektif sesaat, dan semisalnya. Atau juga lebih banyak dikontrol oleh faktor eksternal, bukan oleh penguasaan-diri (self-mastering)

Dalam teori pengembangan-diri dikenal istilah "Human Bank Account" (HBA), manusia yang emosinya seperti rekening bank. Uang yang ada di dalam rekening itu kan bisa ambil, bisa ditambah, atau bisa dibekukan. Ini suka-suka orang yang punya. Orang yang seperti rekening ini menggantungkan kebahagian, kesedihan, ketakutan, atau keamanannya pada orang lain. Orang lain-lah yang diharapkan untuk mengontrol rekening emosinya. Suka-suka orang lain juga. Terkadang menambah isinya, terkadang mengurangi dan terkadang membekukan. Human Bank Account identik dengan power personal yang rendah.


Darimana Mulai Memperbaiki?

Sejauh kita berkesimpulan bahwa ini merupakan sifat atau prilaku yang perlu diperbaiki, tentunya masih ada banyak hal yang masih bisa kita lakukan. Ini antara lain:

Pertama, mengubah pemahaman tentang perubahan-diri. Bemtuk pemahaman seperti apa yang perlu diubah? Banyak orang berkesimpulan bahwa prilakunya, sikapnya atau sifatnya sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa diubah. Pemahaman / kesimpulan inilah yang perlu diubah. Kenapa? Sejauh kesimpulan dan pemahaman seperti itu yang kita pedomani, maka perubahan hampir pasti tidak akan terwujudkan.

Apakah kalau sudah diubah lantas ada jaminan perubahan akan terjadi? Tidak juga. Mengubah pemahaman / kesimpulan itu hanyalah syarat untuk mengubah motif dan aksi. Pendeknya, mengubah pemahaman memang tidak menjamin perubahan sikap dan sifat. Tetapi, untuk mengubah sikap dan sifat perlu mengubah pemahaman.

Kajian psikologi banyak mengaitkan pemahaman / kesimpulan ini dengan istilah "locus of control". Apa itu locus of control itu? Locus of control adalah persepsi seseorang tentang kenapa sesuatu terjadi atau kekuatan apa yang mendorong aksinya. (perception of why thing happens or what drives the behavior). Semua manusia memiliki ini. Bedanya, ada yang disebut internal locus of control (bertumpu pada penguasaan-diri) dan external locus of control (bertumpu pada penguasaan faktor eksternal).

Internal-locus-of--control-people berkesimpulan bahwa hanya saya yang bisa mengubah sifat dan sikap saya atau perubahan itu harus dimulai dari saya. Sementara, external-locus-of-control-people mungkin berkesimpulan bahwa saya begini karena dia begitu atau perubahan harus dimulai dari luar dirinya. Secara umum dikatakan, orang yang locus of control-nya ke dalam, lebih mudah menghentikan kebiasaan buruk, lebih mudah bergaul, lebih tahan menghadapi problem, dan lain-lain.

Jadi, mengubah pemahaman itu akan mengubah posisi locus of control itu, dari yang semula lebih ke eksternal dan sekarang ini lebih ke internal.

Kedua, latihan menjadi pendengar yang bagus. Ini agar tidak sedikit-sedikit ngeyel, mendebat atau mempertahankan diri karena nafsu-egoisme. Caranya antara lain:
Berilah orang lain kesempatan untuk mengungkapkan apa maunya dulu sampai jelas dan tuntas. Ini relatif, tetapi intinya adalah jangan mendebat atau memotong atau ngeyel lebih dulu.
Berlatihlah untuk menangkap ide pokok dalam sebuah pembicaraan. Untuk menghindari "missing", jelaskan ulang atau tanyakan.
Bila ada hal-hal yang tidak / kurang kita setujui, jalankan lebih dulu atau beri alasan yang kuat, masuk akal dan dengan bahasa yang memberi pilihan, bukan ingin mengubah. Sehingga tidak terjadi interaksi yang saling membela diri.

Ketiga, tutuplah pintu debat dan bukalah pintu dialog. Bedanya apa dialog dan debat. Dialog itu ya saling melengkapi, saling membuka, dan saling berusaha menemukan yang terbaik. Sementara kalau debat isinya (yang paling mayoritas) adalah saling mempertahankan diri, saling tidak mau membuka, dan masing-masing mempertahankan kebenaran-sendiri versi diri sendiri.

Keempat, temukan cara untuk menyatakan "penolakan yang baik". Ada banyak cara untuk menyatakan penolakan atau ketidaksetujuan dan itu tidak harus dengan ngeyel atau bersitegang. Ini misalnya saja dengan meminta waktu berpikir atau mempertimbangkan, dengan memberikan alasan, dengan memakai bahasa isyarat, dan lain-lain.

Kelima, latihan membuka diri. Ini misalnya saja belajar mendengarkan perspektif orang lain, memahami perbedaan orang lain, mempertimbangkan posisi orang lain, dan lain-lain. Ini bukan berarti harus "mengalah", tetapi ini adalah cara agar kita bisa memberikan sikap atau tindakan yang jauh dari campur tangan hawan nafsu kebenaran-sendiri.

Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah belajar berpihak pada "apa yang baik", "apa yang benar", dan "apa yang bermanfaat" bagi kita dan orang lain, bukan berpihak untuk mempertahankan ego sendiri (siapa yang paling benar). Kenapa? Kalau sudah bicara "siapa yang paling benar", tentu yang paling benar adalah kita. Karena orang lain pun punya hak merasa begitu, jadinya saling defensif. Inilah cara untuk mengalahkan "Id".

Semoga bermanfaat.