Jumat, 08 Mei 2009

Apakah Anda Orang yang Defensive ?

Pengertian & Penggunaan

Apa itu defensif? Defensif itu, kalau melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah: bersikap bertahan, dipakai atau dimaksudkan untuk bertahan, atau dalam keadaan bertahan. Ketika digunakan dalam praktek, defensif ini sering punya dua konotasi. Yang pertama konotasinya positif. Ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mempertahankan dirinya dari serangan, hantaman, godaan, atau jebakan dari luar (orang dan keadaan). Kemampuan ini merupakan buah dari kematangan, ketangguhan, atau kedalaman

Defensif dengan konotasi yang ini dapat kita temui dalam strategi peperangan. "Defensive is more powerful than offensive." Kenapa? Menurut pengalaman para jagoan, orang yang lebih memilih strategi offensif (menyerang lebih dulu), biasanya lebih rentan didominasi nafsu untuk mengalahkan, nafsu keserakahan, atau nafsu untuk menghancurkan. Secara emosi, strategi ofensif ini jauh lebih melelahkan ketimbang strategi defensif. Ini tidak berarti mereka yang defensif itu diam ketika diserang. Mereka tetap menyerang, namun motif dan kesadaran yang membimbingnya adalah tujuan untuk mempertahankan diri.

Peperangan, penyerangan, atau pertempuran para nabi pun begitu. Kalau dilihat di sejarahnya, strategi yang dipilih adalah defensif (to defend). Mereka dikirim Tuhan untuk menyebarkan kedamaian, tetapi karena di lapangannya menghadapi serangan dari orang-orang yang tidak pro dengan nilai-nilai itu dan menyerangnya, tentu saja tidak tinggal diam. Mereka membalas serangan itu untuk mempertahankan diri dan misi sucinya.

Dalam teori pengembangan karir, defensif dengan konotasi positif ini disebutnya dengan istilah resilience. Ini adalah kemampuan seseorang dalam menyembuhkan diri atau dalam beradaptasi dengan berbagai ketidakberuntungan atau perubahan buruk. Menurut Fox (1995), ciri-ciri orang yang tangguh itu antara lain:
Mereka memilih keputusan untuk melangkah maju. Mereka menghindari keputusan untuk berhenti atau mundur (stepping forward).
Mereka punya kemampuan dalam menyerap pelajaran positif di balik kekacauan (learning from chaos)
Mereka punya kemampuan dalam menyeleksi materi yang ditekuninya (selective learner).
Mereka berpikir dalam konteks peluang, kemampuan, kemungkinan dan menjauhi pikiran-pikiran tentang keterbatasan, kekurangan, atau ketidakmampuan (opportunity and possibility approach)
Mereka punya dorongan untuk menghasilkan perbedaan yang unik (creative people).
Mereka memunculkan banyak alternatif dan opsi untuk bisa sampai pada sasaran yang dituju (explorer people)



Sedangkan arti defensife yang kedua, konotasinya negatif. Inilah yang menjadi pokok bahasan kita di sini. Defensif di sini artinya adalah prilaku atau ekspresi sikap yang muncul ketika seseorang itu mempersepsikan adanya ancaman atau untuk mengantisipasi ancaman (ketakutan). Out-put-nya adalah: suka ngeyel, suka membantah, suka membukan pintu perdebatan, suka menolak masukan dari orang lain, dan lain-lain. Perilaku atau ekspresi sikap seperti ini pada umumnya didasari oleh motif supaya kelihatan menang, supaya bisa terhindar dari penugasan atau hukuman, atau supaya kelihatan "lebih jago".

Nah, defensif dengan konotasi yang ini ada yang dipraktekkan secara nyata, misalnya saja: melalui ungkapan mulut, sikap atau tindakan. Contohnya saja ada orang dikasih tahu oleh orang yang lebih tahu tentang hal-hal yang lebih baik, tetapi orang itu terang-terangan ngeyel atau membantah. Bisa juga dalam bentuk mendebat lebih dulu sampai tegang. Ada juga yang dipraktekkan secara diam-diam / di belakang. Ini misalnya saja kita punya kebiasaan untuk menentang, ngeyel, atau tidak mau menerima masukan positif, namun itu secara sembunyi-sembunyi.

Jadi intinya, ada defensif yang pasif-submisif, dan ada yang aktif-agresif (menyerang).

Sebagai model komunikasi atau interaksi, ke-defensif-an itu melahirkan dua efek, tergantung yang kita terapkan. Pertahanan-diri yang didasarkan pengetahuan mendalam tentang diri sendiri, pengalaman hidup / kerja, dan tujuan positif, efeknya adalah personal power yang kuat. Tapi ini dengan syarat sejauh dilakukan secara proporsional. Sebaliknya, pertahanan-diri yang didasari nafsu, rasa takut, atau rasa kurang (feeling of lack and fear), biasannya efek yang muncul adalah negatif. Defensif seperti ini menghambat tercapainya interaksi yang "supportive"



Akar Defensif Yang Negatif

Apa yang menyebabkan seseorang menjadi defensif dalam konotasi yang negatif itu? Dari penjelasan yang bisa kita temukan di berbagai literatur, salah satunya adalah motivasi minus. Istilah ini dipakai Ian Marshall dan Danah Zohar di buku Spiritual Capital (2005). Motor penggerak manusia itu ada yang plus (positif) dan ada yang minus (cenderung negatif) sesuai levelnya. Ringkasnya bisa dilihat di bawah ini:
No.
Motivasi Plus
Motivasi Minus

1
Eksplorasi (+1)
Penonjolan diri (-1)

2
Kecendrungan bergaul dan bekerja sama (+2)
Kemarahan (-2)

3
Kekuatan-diri-ke dalam (+3)
Keserakahan (-3)

4
Penguasaan (+4)
Rasa takut (-4)

5
Generativitas (+5)
Keresahan(-5)

6
Pengabdian yang lebih tinggi (+6)
Apati (-6)

7
Jiwa dunia (+7)
Malu dan rasa bersalah (-7)

8
Pencerahan (+8)
Depersonalisasi (-8)


Nah, defensif terkait dengan rasa takut (-4). Orang yang motivasinya di sini kerap dihinggapi kecemasan, kecurigaan, atau perasaan terancam dan rasa rentan diserang. Takut adalah lawan dari perasaan menguasai keadaan. Orang yang dimotivasi oleh rasa takut selalu ingin membela diri atau melindungi diri. Logisnya, kalau orang merasa kurang atau merasa takut, kecenderungan yang dominan adalah membela diri.

Lawannya adalah penguasaan (+4). Ini terkait dengan keterampilan interpersonal yang lebih bagus, khususnya nilai atau keterampilan dari suatu profesi, suatu tradisi, atau suatu sistem pemahaman yang lebih luas atau suatu visi bersama. Penguasaan kita terhadap bidang, keadaan, atau nilai-nilai, akan membuat kita merasa aman (tidak terlalu takut). Kalau seseorang sudah relatif lebih aman, untuk apa lagi membela diri atau melindungi diri dengan berbagai retorika yang berefek kurang baik pada interkasi?

Penjelasan lainnya mengaitkan ini dengan personal power - sebuah kekuatan yang berakar pada penguasaan diri (self-mastering). Semakin kuat power personal seseorang, maka semakin terbebas dia dari berbagai rasa terancam oleh orang lain. Sumber keamanannya berada di dalam dirinya. Penguasaan-diri ini kemudian membuahkan sebuah sikap dan sifat yang kuat (berpedoman pada pendirian hidup) dan terbuka terhadap orang lain: bisa mendengarkan, bisa menghargai, bisa bekerja sama, bisa berdialog, dan lain-lain.

Ini beda dengan orang yang power personalnya rendah. Meminjam teorinya Freud, orang yang power personalnya rendah itu lebih dikendalikan oleh Id, seperti anak-anak. Maksudnya, prilakunya lebih banyak dikontrol oleh ego pribadi yang subyektif, pertahanan-diri yang egois, mood yang dikendalikan oleh kepentingan-subyektif sesaat, dan semisalnya. Atau juga lebih banyak dikontrol oleh faktor eksternal, bukan oleh penguasaan-diri (self-mastering)

Dalam teori pengembangan-diri dikenal istilah "Human Bank Account" (HBA), manusia yang emosinya seperti rekening bank. Uang yang ada di dalam rekening itu kan bisa ambil, bisa ditambah, atau bisa dibekukan. Ini suka-suka orang yang punya. Orang yang seperti rekening ini menggantungkan kebahagian, kesedihan, ketakutan, atau keamanannya pada orang lain. Orang lain-lah yang diharapkan untuk mengontrol rekening emosinya. Suka-suka orang lain juga. Terkadang menambah isinya, terkadang mengurangi dan terkadang membekukan. Human Bank Account identik dengan power personal yang rendah.


Darimana Mulai Memperbaiki?

Sejauh kita berkesimpulan bahwa ini merupakan sifat atau prilaku yang perlu diperbaiki, tentunya masih ada banyak hal yang masih bisa kita lakukan. Ini antara lain:

Pertama, mengubah pemahaman tentang perubahan-diri. Bemtuk pemahaman seperti apa yang perlu diubah? Banyak orang berkesimpulan bahwa prilakunya, sikapnya atau sifatnya sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa diubah. Pemahaman / kesimpulan inilah yang perlu diubah. Kenapa? Sejauh kesimpulan dan pemahaman seperti itu yang kita pedomani, maka perubahan hampir pasti tidak akan terwujudkan.

Apakah kalau sudah diubah lantas ada jaminan perubahan akan terjadi? Tidak juga. Mengubah pemahaman / kesimpulan itu hanyalah syarat untuk mengubah motif dan aksi. Pendeknya, mengubah pemahaman memang tidak menjamin perubahan sikap dan sifat. Tetapi, untuk mengubah sikap dan sifat perlu mengubah pemahaman.

Kajian psikologi banyak mengaitkan pemahaman / kesimpulan ini dengan istilah "locus of control". Apa itu locus of control itu? Locus of control adalah persepsi seseorang tentang kenapa sesuatu terjadi atau kekuatan apa yang mendorong aksinya. (perception of why thing happens or what drives the behavior). Semua manusia memiliki ini. Bedanya, ada yang disebut internal locus of control (bertumpu pada penguasaan-diri) dan external locus of control (bertumpu pada penguasaan faktor eksternal).

Internal-locus-of--control-people berkesimpulan bahwa hanya saya yang bisa mengubah sifat dan sikap saya atau perubahan itu harus dimulai dari saya. Sementara, external-locus-of-control-people mungkin berkesimpulan bahwa saya begini karena dia begitu atau perubahan harus dimulai dari luar dirinya. Secara umum dikatakan, orang yang locus of control-nya ke dalam, lebih mudah menghentikan kebiasaan buruk, lebih mudah bergaul, lebih tahan menghadapi problem, dan lain-lain.

Jadi, mengubah pemahaman itu akan mengubah posisi locus of control itu, dari yang semula lebih ke eksternal dan sekarang ini lebih ke internal.

Kedua, latihan menjadi pendengar yang bagus. Ini agar tidak sedikit-sedikit ngeyel, mendebat atau mempertahankan diri karena nafsu-egoisme. Caranya antara lain:
Berilah orang lain kesempatan untuk mengungkapkan apa maunya dulu sampai jelas dan tuntas. Ini relatif, tetapi intinya adalah jangan mendebat atau memotong atau ngeyel lebih dulu.
Berlatihlah untuk menangkap ide pokok dalam sebuah pembicaraan. Untuk menghindari "missing", jelaskan ulang atau tanyakan.
Bila ada hal-hal yang tidak / kurang kita setujui, jalankan lebih dulu atau beri alasan yang kuat, masuk akal dan dengan bahasa yang memberi pilihan, bukan ingin mengubah. Sehingga tidak terjadi interaksi yang saling membela diri.

Ketiga, tutuplah pintu debat dan bukalah pintu dialog. Bedanya apa dialog dan debat. Dialog itu ya saling melengkapi, saling membuka, dan saling berusaha menemukan yang terbaik. Sementara kalau debat isinya (yang paling mayoritas) adalah saling mempertahankan diri, saling tidak mau membuka, dan masing-masing mempertahankan kebenaran-sendiri versi diri sendiri.

Keempat, temukan cara untuk menyatakan "penolakan yang baik". Ada banyak cara untuk menyatakan penolakan atau ketidaksetujuan dan itu tidak harus dengan ngeyel atau bersitegang. Ini misalnya saja dengan meminta waktu berpikir atau mempertimbangkan, dengan memberikan alasan, dengan memakai bahasa isyarat, dan lain-lain.

Kelima, latihan membuka diri. Ini misalnya saja belajar mendengarkan perspektif orang lain, memahami perbedaan orang lain, mempertimbangkan posisi orang lain, dan lain-lain. Ini bukan berarti harus "mengalah", tetapi ini adalah cara agar kita bisa memberikan sikap atau tindakan yang jauh dari campur tangan hawan nafsu kebenaran-sendiri.

Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah belajar berpihak pada "apa yang baik", "apa yang benar", dan "apa yang bermanfaat" bagi kita dan orang lain, bukan berpihak untuk mempertahankan ego sendiri (siapa yang paling benar). Kenapa? Kalau sudah bicara "siapa yang paling benar", tentu yang paling benar adalah kita. Karena orang lain pun punya hak merasa begitu, jadinya saling defensif. Inilah cara untuk mengalahkan "Id".

Semoga bermanfaat.